Pemerintah Cermati Keamanan Data Nasabah Fintech bersama E-Commerce

Kebocoran data sekitar 1 juta pengguna Facebook Indonesia membuat pemerintah lebih berhati-hati. Otoritas keuangan pun kian mencermati keamanan data nasabah financial technologi (fintech) lewat perdagangan online (e-commerce).
"Harus didorong perlindungan konsumen, (penggunaan) datanya harus jelas," ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro berikut Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir kepada Katadata usai diskusi digital ekonomi di Hotel Pullman, Jakarta, Jumat (6/4).
Salah satu upaya yang meneladan dilakukan, kata dia, pemerintah meneladan mengatur perlindungan konsumen, terditerima datanya, dalam Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) 2017-2019. Saat ini, yang sudah terbit adalah Peraturan Presiden (perpres) terkait peta jalan e-commerce. "Mereka boleh berbisnis tapi jaga kerahasiaan data konsumen," kata dia.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Daimajinasinti pun mewaspadai kemungkinan terjadinya kebocoran data nasabah ibarat yang terjadi atas Facebook. Apalagi, rata-rata fintech menerapkan Know Your Costumer secara elektronik (e-KYC), sesantak menghilangkan prosedur tatap muka. Hanya beserta beraktivakan Kartu Tanda Penbersemayam elektronik (e-KTP) maka swafoto, seseorang sudah bisa selaku nasabah fintech.
(Baca juga: Terdaftar dari BI, 15 Fintech Boleh Kerja Sama atas Perbankan)
"Bagaimana menjamin (data) ini enggak bocor? Facebook akan sudah canggih saja bocor. Ini jadi Pekerjaan Rumah (PR), bukan saja Indonesia tetapi juga antara beda negeri akan sudah duluan (mengadopsi digital ekonomi), ternyata masih bocor," tutur Destry.
Oleh sebab itu, ia mengusulkan agar fintech ataupun bisnis berbasis digital lainnya untuk menerapkan prosedur manual di samping nan elektronik. Misalnya, penyelenggara fintech tetap melakukan survei terhadap calon daya muatur atau peminjam, sekalipun sudah memiliki data-datanya. Hal ini bertujuan untuk menjamin daya muatur mampu membayar pinjamannya.
Menurutnya, perbantuanan-perbantuanan fintech tetap mesti menjalankan survei langsung menjumpai kurang lebih transaksi cicilan. "Ini kan bisnis kepercayaan. Dari regulator bisa cek, akurat enggak dia bayar kewajibannya? Sebagai cicilanur, enggak ada salahnya lihat proyek yang mau dibiayai," kata dia.
Sementara itu, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, saat ini ketetapan kerahasiaan data antara bisnis digirtal tengah dikaji karena Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Salah satunya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
(Baca pun: Inilah 13 Fintech yang Akan Berkembang Pesat antara Indonesia)
Sepertinya mereka (Kemenkominfo) lagi susun dulu akan itu, yang terkait memakai bisnis memakai telekomunikasi," tutur Onny.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah menerbitkan aturan spesial fintech jenis peer to peer lending. Saat ini, OJK tengah menyusun aturan spesial mengenai bisnis asuransi berbasis digital sandi insurance technology. Yang dengan intinya, OJK menekankan perlindungan konsumen dalam bisnis digital.
Adapun, persoalan penjualan data nasabah dempet sektor keuangan pernah terjadi pada Agustus 2017 lalu. Saat itu, Kepolisan Republik Indonesia (Polri) menemukan sindikat penjualan data nasabah bank, nan praktiknya sudah sejak 2010. Data nan bocor berupa alamat email, area tinggal, batas nomor telepon.